MABES - Belajar

 
 
Editorial
Editorial
 

 

 
Eka belajar mengarsip
Posting 22/01/01 by I Made Wiryana mwiryana@rvs.uni-bielefeld.de

Teman kecil saya Eka sekarang sudah naik kelas, di kelas barunya ini jelas situasi agak berbeda (dia sudah tidak di Grundschule lagi). Dia mulai belajar politik (he.he. beda dengan apa yang kita pahami), bahasa Inggris, dan tentu saja matematika, dan bahasa. Soal "politik" saya akan cerita di lain  kesempatan. Satu hal yang menarik adalah cara dia belajar bahasa. Anak seusia dia (klas 5 SD) tentu saja masih mendapat  pelajaran dikte dan menulis. Yang menarik dari pelajaran bahasa ini adalah beberapa hal dari cara belajar bahasa ini, yang juga ternyata memberikan dasar bagi pengetahuan pengolahan data arsip, ataupun pengindeksan. Beberapa hal yang menarik adalah : 

Pertama, ketika di awal tahun pelajaran, dia membeli alat tulis. Dari sekolah barunya dia sudah mendapat catatan, bahwa untuk pelajaran Matematika pakai tulis nomor 22, untuk menulis buku tulis nomor lainnya. Hal ini tidak heran karena di Jerman ini serba "standard". Secara tidak langsung dia belajar memahami standard dan mengikuti konsensus yang ada. Saya sendiri pernah menemaninya membeli buku ini, jadi dia akan menacari buku dengan nomor tertentu dan ukuran tertentu (msial disebut A4, nomor 22). Secara tidak langsung dia belajar  ukuran kertas, sehingga tak heran anak klas 5 sudah paham A4, A3, A0 8-)

Kedua, ketika di pelajaran dia mencatat di buku tulis itu, tetapi kemudian catatan itu disobek, dan diletakkan di "ordner" yang telah disiapkan. Jadi berbeda dengan kita yang biasanya mencatat di buku yang berbeda-beda untuk tiap mata pelajaran. Dengan cara memisahkan catatan ke "ordner" (biasanya mereka akan mengatur sesuai dengan tata letak, yang diajarkan gurunya dalam ordner itu), maka dari kecil mereka diajari melakukan pengarsipan. Pernah suatu ketika si Eka lagi "stress" gara-gara nggak bisa mengarsipkan.. tuh kertas di pajang di kamar dan dia atur satu-satu. Di samping itu ketika dia melakukan pengarsiapn secara otomatis dia harus membaca apa yang tertulis di situ, dan baru meletakkan pada ordner yang sesuai. Dengan cara ini akan "dipaksa" minimal membaca 1 kali catatan sekolahnya. Cara menulis di dalam buku yang berbeda memang sepertinya lebih praktis, tetapi sering membuat orang pulang sekolah tidak pernah "membuka catatan" yang tadi dia lakukan.

Ketiga, ketika pelajaran menulis (dikte).. pas si Eka membuat kesalahan menulis dia memiliki buku khusus (lebih tepatnya ordner) yang merupakan "indeks" isinya A..Z. Setiap dia membuat kesalahan, maka dia harus memasukkan kata yang salah dan yang betulnya ke dalam "indeks" tersebut. Dengan cara ini dia akan belajar, menemukan kesalahannya sendiri, dan mengarsipkan kesalahannya tersebut. Rupanya dengan cara seperti inilah mengapa rekan-rekan mahasiswa di Jerman ini rata-rata memiliki pengarsipan yang baik (saya sendiri sering malu kalau mahasiswa bimbingan saya menunjukkan kumpulan paper yang dia copy, abis rapih banget, dipisahkan dalam ordner yang berbeda, disekat, ditandai dsb). Tidak heran karena mereka sejak kecil telah dilatih secara perlahan. Nah sebetulnya dalam memperkenalkan teknologi informasi ke murid SD / SMP / SMU / SMK sebaiknya juga dimulai dari prinsip dasar seperti ini, dan tidak terpaku hanya kepada "kulit luar" teknologi saja.

 

 
 
to Index 
Belajar Page
 
 
Back To

 

 

Copyright ©  Sang Pengelola Allright Reserved.