Teman kecil saya Eka sekarang sudah naik kelas, di kelas barunya ini
jelas situasi agak berbeda (dia sudah tidak di Grundschule lagi). Dia
mulai belajar politik (he.he. beda dengan apa yang kita pahami), bahasa
Inggris, dan tentu saja matematika, dan bahasa. Soal "politik"
saya akan cerita di lain kesempatan. Satu hal yang menarik adalah
cara dia belajar bahasa. Anak seusia dia (klas 5 SD) tentu saja masih
mendapat pelajaran dikte dan menulis. Yang menarik dari pelajaran
bahasa ini adalah beberapa hal dari cara belajar bahasa ini, yang juga
ternyata memberikan dasar bagi pengetahuan pengolahan data arsip, ataupun
pengindeksan. Beberapa hal yang menarik adalah :
Pertama, ketika di awal tahun pelajaran, dia membeli alat tulis. Dari
sekolah barunya dia sudah mendapat catatan, bahwa untuk pelajaran
Matematika pakai tulis nomor 22, untuk menulis buku tulis nomor lainnya.
Hal ini tidak heran karena di Jerman ini serba "standard".
Secara tidak langsung dia belajar memahami standard dan mengikuti
konsensus yang ada. Saya sendiri pernah menemaninya membeli buku ini, jadi
dia akan menacari buku dengan nomor tertentu dan ukuran tertentu (msial
disebut A4, nomor 22). Secara tidak langsung dia belajar ukuran
kertas, sehingga tak heran anak klas 5 sudah paham A4, A3, A0 8-)
Kedua, ketika di pelajaran dia mencatat di buku tulis itu, tetapi
kemudian catatan itu disobek, dan diletakkan di "ordner" yang
telah disiapkan. Jadi berbeda dengan kita yang biasanya mencatat di buku
yang berbeda-beda untuk tiap mata pelajaran. Dengan cara memisahkan
catatan ke "ordner" (biasanya mereka akan mengatur sesuai dengan
tata letak, yang diajarkan gurunya dalam ordner itu), maka dari kecil
mereka diajari melakukan pengarsipan. Pernah suatu ketika si Eka lagi
"stress" gara-gara nggak bisa mengarsipkan.. tuh kertas di
pajang di kamar dan dia atur satu-satu. Di samping itu ketika dia
melakukan pengarsiapn secara otomatis dia harus membaca apa yang tertulis
di situ, dan baru meletakkan pada ordner yang sesuai. Dengan cara ini akan
"dipaksa" minimal membaca 1 kali catatan sekolahnya. Cara
menulis di dalam buku yang berbeda memang sepertinya lebih praktis, tetapi
sering membuat orang pulang sekolah tidak pernah "membuka
catatan" yang tadi dia lakukan.
Ketiga, ketika pelajaran menulis (dikte).. pas si Eka membuat kesalahan
menulis dia memiliki buku khusus (lebih tepatnya ordner) yang merupakan
"indeks" isinya A..Z. Setiap dia membuat kesalahan, maka dia
harus memasukkan kata yang salah dan yang betulnya ke dalam
"indeks" tersebut. Dengan cara ini dia akan belajar, menemukan
kesalahannya sendiri, dan mengarsipkan kesalahannya tersebut. Rupanya
dengan cara seperti inilah mengapa rekan-rekan mahasiswa di Jerman ini
rata-rata memiliki pengarsipan yang baik (saya sendiri sering malu kalau
mahasiswa bimbingan saya menunjukkan kumpulan paper yang dia copy, abis
rapih banget, dipisahkan dalam ordner yang berbeda, disekat, ditandai
dsb). Tidak heran karena mereka sejak kecil telah dilatih secara perlahan.
Nah sebetulnya dalam memperkenalkan teknologi informasi ke murid SD / SMP
/ SMU / SMK sebaiknya juga dimulai dari prinsip dasar seperti ini, dan
tidak terpaku hanya kepada "kulit luar" teknologi saja.