MABES - Sport

Back To
 
 

Zinedine Zidane - #1

  Sempat belajar judo sebelum menekuni sepakbola.

 bersaing ketat dengan Djorkaeff.

Siapa pemain Prancis yang paling dicintai? Kalau anda bertanya kepada penduduk Marseille, jawabannya tegas : Zinedine Zidane. Datanglah ke kota pelabuhan tersibuk di Prancis selatan itu. Disebuah perempatan jalan, terpampang poster wajah raksasa gelandang Juventus itu. " Kami semua akan datang ke stadion untuk mendukung Zizou (panggilan akrab Zidane)." Ujar Nouredinne, penduduk Marseille katurunan Aljazair. Jangan salah duga. Ini bukan soal sentimentil rasial. Kendati di Marseille memang banyak kantung-kantung pemukiman imigran mantan koloni Prancis.

Zidane bukan Cuma bintang bagi warga keturunan Aljazair, Maroko, atau Tunisia. Pemain berambut tipis ini juga harapan masyarakat Prancis untuk mewujudkan mimpi lama mereka : juara dunia. Bahkan Aimi Jaquet mengakui besarnya peran Zidane di dalam timnya kali ini. "Terus-terang, saya membentuk tim ini dengan Zidane sebagai pusat," katanya. "Kalau dia absen saya harus mengubah formasi."

Tak pelak, pemain yang jarang tersenyum ini dianggap sebagai ruh "Les Blues". Piawai membaca permainan, didukung tehnik aduhai membuatnya dipercaya sebagai play maker sekaligus sebagai pemasok bola bagi para bomber Prancis. Banyak yang menganggap gaya bermain Zidane mirip Platini, bintang Prancis era 1980-an. "Melihat Zidane bermain mengingatkan saya kepada Platini," kata Igor lobanovski, pelatih Dinamo Kiev, usai timnya dikalahkan Juventus 1-4 di Liga Champion pada musim 1997-1998. "Pertama-tama Ia mengutamakan timnya. Baru dirinya sendiri."

Awal Menuju Perjalanan Karir Zizou

Zidane memang memimpikan negerinya juara dunia sejak kecil. Semasa bocah, ia kerap dikalungi untaian kembang yang digantungi sebuah botol bertuliskan " Juara Piala Dunia" oleh kawan-kawan bermainnya. Tentu saja itu olok-olok anak ingusan. Yazid Zinedine Zidane, begitulah nama yang dinamakan ayahnya. Ia lahir di Marseille-le Blanche, salah satu kantung pemikiman imigran di utara kota, pada 23 Juni 1972. Ayahnya Ismail, ibunya Malika. 

Pasangan Ismail-Malika punya anak lagi selain Yazid-nama kecil Zidane. Yakni, Jamal, Farid, Nuruddin, dan Laila. Mereka tinggal di Castelline, apartemen di wilayah perbukitan. Di dekat apartemennya terdapat tanah lapang lumayan lebar. Disanalah Zidane dan saudaranya bermain sepeda dan sepakbola. Zidane sendiri melengkapinya dengan beladiri Judo. Namun berhenti sampai ban hijau. Ia lebih tertarik sepakbola. Kebetulan saat itu-tahun 1978-berlangsung Piala Dunia. Kanak-kanak sebayanya kerap menirukan gaya bermain bintang-bintang yang berlaga di Argentina. "ada yang menjadi Mario Kempes atau ( Karl-Heinz) Rummenniege," Zidane bercerita. "Saya sendiri malu menirukan mereka."

Jika kelompok kawan-kawannya menamakan diri tim Argentina, Brasil, atau Jerman, Zidane mengajak "timnya" tetap dengan nama Prancis. Dan ternyata "tim Prancis" pimpinan Zidane ini kerap menang. Layaknya juara mereka dikalungi kembang yang digantungi botol. "Kami menganggapnya mendali juara dunia," Zidane menambahkan, sambil tertawa.   Pada usia delapan tahun, Zidane dimasukkan ke klub Saint Henri. Kemudian Puppiles. Di sana ia belajar tehnik mengolah bola secara khusus. Para penyeleksi melihat tanda-tanda masa depan dalam diri bocah pendiam itu.

SUATU KETIKA, TIBA-TIBA SEORANG PEMANDU BAKAT DARI CANNES MENGETUK PINTU RUMAHNYA. DENGAN BUJUKAN "ASSALAMU'ALAIKUM", MEREKA MINTA PADA ISMAIL UNTUK MEMBAWA ZIDANE. TERHARU OLEH PENGERTIAN MEREKA TERHADAP AGAMANYA, ISMAIL MENGIZINKAN. "TAPI BIARKAN IA TETAP BERIBADAH SECARA ISLAM," IA BERPESAN.

Debut Zidane di kompetisi "resmi"- tepatnya Liga D1 remaja-terjadi pada tahun 1989, melawan Nantes. Ia tampil cemerlang. "Caranya membawa bola mirip Platini," Guy Lacombe, pelatih Cannes remaja, memuji. "Ia tahu kemana mengarahkan si kulit bundar." 

Goh Files 15/05 (MABES Sport)

[bersambung ke jilid #2]

 

to Mabes 
Sport Page
 
 

 

 

Copyright ©  Sang Pengelola Allright Reserved.