MABES - Sport

Back To
 
 
Zinedine Zidane - #2

Setelah tiga tahun "sekolah" di Cannes, Zidane baru main sepakbola sungguhan di Bordeaux. Menurutnya, Cannes hanya cocok untuk belajar, bukan mengejar prestasi."Karena memutuskan ingin serius, saya harus pindah klub," katanya. Beruntung di Bordeaux ia kenalan dan bersahabat dengan Christophe Duggary. Ia mengaku permainannya makin meningkat. Zidane pemberi bola, Duggary pencetak golnya. "Kami ibarat angin dan pepohonan," Zidane melukiskan persahabatan mereka. "Saya 'meniup' bola dan Duggary menggoyangnya. Saling memberi inspirasi."

Dua tahun kemudian, pada 1994, ia terpilih menjadi Pemain Muda Terbaik. Zidane kemudian dipanggil ke tim nasional. Debutnya sangat indah. Ia mencetak satu gol dan memberi umpan bagi gol Duggary. Prancis menahan imbang Ceko 2-2. Seusai pertandingan, Platini mendatanginya dikamar ganti pemain. "Sekarang saya rela mewariskan kaus bernomor punggung 10 kepada Zidane," kata mantan kapten tim Prancis itu.

 Setahun kemudian ia membawa Bordeaux runner up Piala UEFA 1995/1996. Lalu terpilih menjadi pemain terbaik Prancis 1996. Sayangnya, karirnya karirnya kemudian sedikit ternoda. Ia justru tampil buruk saat membela Prancis di Piala Eropa '96. Youri Djorkaeff meledeknya sebagai pemain yang hanya pantas menjadi cadangan. Pernyataan itu ditafsirkan sebagai perseturuan diam-diam diantara keduanya. Zidane sendiri berusaha menutupinya. Namun, tak dapat dipungkiri, ia dendam. "Saya ingin keluar Prancis untuk menunjukkan siapa saya," ia bertekad. Niat itu disampaikan kapada Duggary yang kebetulan mendapat tawaran dari AC Milan.

Ia ingin pergi ke Spanyol. Tapi Marcelo Lippi, pelatih Juventus, keburu membujuknya. "Platini pernah  sukses disana. Sebagai 'pewarisnya' apakah anda tak ingin  mengikuti jejaknya ?" Antara senang dan jengkel selalu dibandingkan dengan Platini, Zidane nyaris menolak. Malamya, ia ditelepon Didier Deschamps, rekannya ditim Prancis yang sudah lebih dulu memperkuat Juventus. "Terimalah," kata Deschamps. Zidane pun pergi ke Turin. Sejak itu, ia tidak bisa menolak disebut sebagai "Platini yang kembali ke Turin".Apalagi, posisinya seperti ketika Kepresidenan Piala Dunia itu masih disana: dibelakang duet penyerang. Ringkasnya, Zidane sukses membawa "Bianconeri" meraih Piala Super Eropa, Piala Toyota 1996, dan Liga Italia 1997-1998. Sukses Juventus tidak bisa lepas dari perannya.

Sukses itu sekaligus kemenangan Zidane atas Djorkaeff. Setidaknya Jacquet memilihnya untuk mengisi posisi penting di "tim Ayam Jantan". Namun, lagi-lagi, ia tak ingin diungkit-ungkit ihwal perebutan lini tengah dengan pemain Inter Milan itu. Menurutnya Djorkaeff lebih tepat sebagai ujung tombak. "Karena ia mempunyai ketenagan di kotak penalti," ujarnya. "Sementara saya lebih defensif dan lebih suka sebagai pengumpan. Karakter kami ini sulit diubah."

Goh Files 15/05 (MABES Sport)

[Kembali ke jilid #1]

to Mabes 
Sport Page
 
 

 

 

Copyright ©  Sang Pengelola Allright Reserved.